navigasi

Jumat, Januari 25, 2008

Pelangi itu memang nyata

Ketika sebagian besar orang hanya terlelap dan bersedia menikmati kesuksesan, sebagian kecil orang justru selalu gelisah mencari peluang dan kesempatan. Mereka tak gentar bersaing, tak takut mengambil risiko meski pun untuk itu harus mengalami jatuh bangun dan mungkin juga menderita kerugian. Inilah sebagian kecil dari kisah beberapa orang yang memulai bisnis dengan modal kemauan dan kemudian memetik hasil.

INI cerita Purdi E. Chandra –pendiri dan pemilik bimbingan belajar Primagama—soal pertemuan dengan seorang teman lamanya semasa kuliah di UGM Yogyakarta. Sang teman, kini dosen di almamaternya. “Wah, sampean benar mas Purdi. Kalau tiga tahun lalu saya langsung mulai bikin bengkel dan restoran di tanah warisan bapak saya, sekarang bengkel itu mungkin sudah gede dan punya nama. Saat ini, bengkel two in one sudah ombyokan (banyak-Red) di kawasan itu. Kalau saya baru mulai sekarang, jelas berat saingannya,” kata si teman.

“Bukankah ide bisnis yang bagus itu sudah Anda gagas tiga tahun lalu, lengkap dengan modal tanah warisan dan simpanan tabungan, mengapa Anda tidak langsung memulainya saat itu juga?” tanya Purdi. “Waktu itu saya memang belum berani. Saya kan tak mengerti mesin mobil,” balas si teman. “Lho, siapa bilang Anda sendiri yang mesti menguasai mesin mobil. Anda bisa bayar orang yang punya keterampilan itu, dan Anda langsung jadi bussines owner,” lanjut Purdi. Sang teman hanya bisa manggut-manggut.

Memang gampang-gampang susah menjadi entrepreneur jika yang dimaksud adalah menjadi pengusaha atau usahawan, seperti yang pernah diniatkan teman Purdi tadi. Tapi dari yang susah itu, seorang entrepreneur tangguh mestilah juga seorang petualang sejati dan menyukai perubahan. Begitulah resep dari beberapa entrepreneur sukses kelas dunia dan lokal, untuk mereka yang ingin memulai usaha, termasuk Purdi yang pada 2003 dinobatkan sebagai salah satu entrepreneur sukses oleh Ernst & Young.Seorang entrepreneur, kata pakar manajemen Rhenald Kasali, selalu tidak puas menyaksikan segala sesuatu yang statis di tempat bekerjanya.

Banyak contoh bagaimana seorang yang gelisah ingin membuat perubahan dalam hidup dan lingkungannya kemudian tercatat sebagai seorang entrepreneur, bermula dari petualang. Orville dan Wilbur Wright dua bersaudara penemu pesawat terbang, Michael S. Dell, CEO dan pemilik Dell –perusahaan perangkat PC di Amerika Serikat, atau Jack Welch yang sukses menghindarkan General Electric dari ancaman kebangkrutan pada 1980-an adalah beberapa dari entrepreneur sukses dengan tipikal petualang. Ada pula Larry Page dan Sergey Brin yang menemukan sistem pencarian Internet dan iklan online bernama Google. Di Indonesia juga ada. Untuk menyebut beberapa, ada Rahmat Gobel pendiri National Gobel, Djoenaedi Joesoef (CEO Konimex), Dahlan Iskan (CEO Jawa Pos Grup), Budiono Darsono (pendiri situs berita pertama di Indonesia detikcom), dan Purdi.

www.ey.com

Entrepreneur pendek kata bisa diartikan sebagai orang yang sanggup melihat peluang, ketika orang lain masih tertidur. Jiwa semacam itulah yang tak dimiliki oleh teman Purdi yang berniat membuka bengkel tadi dan mungkin juga kebanyakan orang Indonesia yang lain. Bagi orang semacam itu memulai usaha berarti harus selalu berhasil. Soal berlomba, menerima risiko kekalahan, dan kemudian mencari peluang baru, adalah menjadi momok dan kerap dihindari. Dalam istilah Franciscus Welirang, CEO Bogasari, banyak dari mereka yang memulai usaha selalu ingin cepat sukses tapi tak mau direpotkan dengan soal perlombaan, kekalahan dan juga kerugian.

Keinginan semacam itu adalah sah-sah saja dan mungkin memang baik. Persoalannya bisnis apa yang diusahakan di bawah matahari yang lalu tidak melahirkan persaingan, kekalahan dan juga kerugian dan karena itu selalu menuai sukses?

Namun mentalitas instan dan mau cepat sukses sebenarnya juga tak berdiri sendiri. Jika diurut ke hulu kenyataan itu bisa jadi disebabkan oleh terlalu lamanya bangsa ini dijajah. Diakui atau tidak, sebagian dari kita lebih senang bekerja di instansi pemerintah, atau perusahaan besar (dan terkenal), punya gaji tetap, dan berpenampilan perlente. Banyak orang bingung mencari kerja yang sesuai dengan keahlian, keterampilan dan minatnya. Ketika bekerja pun, sibuk memikirkan karir, promosi, naik pangkat atau naik gaji dan seterusnya, yang lain bingung mau pindah kerja yang sesuai dengan keahliannya. Orde Baru, yang memuja jabatan dan pangkat, membuat mental seperti ini makin terpelihara di masyarakat.

Sangat jarang, misalnya, yang berpikir, bagaimana mulai membangun “pipa”, meski katakanlah, peluang itu selalu muncul di mana saja dan kapan saja. Soal ide mungkin ada seabrek tapi untuk urusan nyali tunggu dulu. Itulah kata Greg S Alberto, konsultan manajemen pada Andrew Tani & Co, problem klasik calon pengusaha yang membuat mereka tak juga menjadi pengusaha: mereka takut memulai karena takut gagal.

Beberapa anak muda di Bandung, Yogyakarta, dan Denpasar yang sukses dengan bisnis produk kaus oblong eksentrik, musik undergorund, dan penerbitan sejak beberapa tahun lalu, mungkin adalah beberapa orang muda yang punya mimpi dan berani membangun “pipa” itu. Anak-anak muda mana yang sekarang tak kenal kaus, sandal, tas, dan aksesori cap Dagadu, Jaran, Dadung, atau Joger? Namun sedikit yang tahu, perintis usaha konveksi itu adalah mereka yang punya mimpi, keberanian, siap menanggung risiko, dan kemudian membuktikan bahwa mimpi mereka bisa mengubah hidup dan ekonomi mereka.

Simak ikhtiar Dendy Darman yang berani memulai bisnis kaus oblong bermerek 347 Boardrider pada 1995 dan kini menjadi lokomotif “reformasi” bisnis konveksi di kalangan anak-anak muda underground. Saat itu, kaus-kaus merek C-95 sedang laris-larisnya dicari orang tapi bagi Dendy, pesaing tangguh itu justru peluang untuk melihat pelangi lebih jauh. Kaus oblongnya, lalu dia dipasarkan hanya untuk kalangan tertentu yaitu komunitas anak-anak muda penggemar olahraga papa luncur (skateboard), sepeda BMX, peselancar dan musik underground. Dendy berusaha menciptakan pasar. Dalam relatif singkat, kaus, celana, sepatu, sandal, dan aksesori 347 lainnya laris di kalangan komunitas. Di Bandung, kapitalisasi bisnis konveksi seperti yang diusahakan Dendy dan banyak usahawan muda lainnya, dalam sebulan bahkan bisa mencapai ratusan juta rupiah dan mereka bisa membayar pajak sampai puluhan juta rupiah setiap tahun (lihat “Bandung, Lautan Api Kreatif Kaum Muda”, Laporan Utama, GATRA, Edisi 40 Jumat 15 Agustus 2003).

shop.purdiechandra.com

Bagaimana, jika mimpi ada, kesempatan tersedia, nyali punya tapi nihil modal? Purdi punya pengalaman soal modal ini. Ketika mendirikan Primagama pada 10 Maret 1982, selain meninggalkan kuliahnya di UGM dan IKIP Yogyakarta, ia hanya punya modal Rp 300 ribu. Itu pun berasal dari pinjam sana-sini, alias bukan duitnya sendiri. Namun Purdi, mengawali semuanya dengan keberanian mengambil risiko. Dia yakin bimbingan belajar yang kala itu tidak banyak dilirik orang, kelak akan berubah menjadi bisnis potensial. Hasilnya seperti yang bisa disaksikan saat ini, Primagama adalah lembaga bimbingan belajar yang tumbuh di banyak kota dan kemudian diikuti oleh banyak orang dengan mendirikan lembaga yang sama.

Selama lebih dari 20 tahun, Purdi sukses membuat Primagama beromset hampir Rp 70 miliar per tahun. Gerainya melonjak sampai 290 buah dan tersebar di 106 kota atau yang terbanyak di sluruh di Indonesia. “Untuk jadi seorang entrepreneur sejati, tidak perlu IP tinggi, ijazah, apalagi modal uang. Saat yang tepat justru saat kita tidak punya apa-apa,” ungkap Purdi, yang kini sudah merambah bisnis media, pusat belanja, restoran, dan sekolah.

Apakah untuk menjadi seorang entrepreneur dengan begitu harus selalu punya perusahaan sendiri? Idealnya memang begitu tapi bisa juga lahir meski bekerja pada orang lain (perusahaan). Pengalaman Art Fry, penemu lembar kecil Post-it Notes adalah salah satu contohnya. Post-in-Notes adalah lembaran kertas kecil warna warni yang bisa ditulis dan dilepas kemudian ditempelkan di tempat yang dianggap perlu. Anda mungkin sering menemukan lembar kertas itu di tempel di layar komputer atau meja kerja. Para profesional memakainya untuk mengingatkan sesuatu atau menyampaikan pesan di pintu ruang kerja bahwa ia ada di ruang lain. Post-it Notes inilah, produk yang paling banyak menghasilkan uang di 3M tempat Art Fry bekerja.

www.bunthaus.com

Namun tahukah Anda, ketika menemukannya, Art Fry dihadang berbagai pihak. Orang pemasaran bilang, konsumen tidak memerlukan dan alasan yang lain. Art Fry lalu melakukan sendiri riset pasar. Karena melihat dia begitu bersemangat, orang produksi di tempatnya bekerja bilang mustahil kertas tempel itu bisa dibuat di pabrik. Selain jenis lemnya belum ada, kertasnya juga sulit diperoleh. Ia buat sendiri percobaan-percobaan sampai mesinnya ditemukan. Semua itu dijalankan sendiri oleh Art Fry, persis ketika seorang pengusaha membangun warung bisnisnya.

Entrepreneur sejati singkat kata adalah gabungan antara mimpi, petualang, keberanian. Ia karena itu akan berani menempuh perlombaan dan persaingan yang terus-menerus hanya untuk mencari sebuah “guci emas” di ujung pelangi terjauh. Mungkin memang akan ada sekelompok orang yang juga melihatnya, kemudian ikut berlomba menemukan harta di ujungnya dan lalu ada seseorang yang menjadi penemu pertama, menggali dan menikmatinya. Namun bagi seorang entrepreneur, akan selalu ada pelangi lain yang menarik untuk diraih. Art Fry, Dell, Djoenaedi, Purdi, Dahlan, Budiono, dan Dendy, sudah membuktikan bahwa pelangi yang lain itu bertebaran.

Tidak ada komentar: