Alih pungsi hutan bakau yang ada di Kabupaten Langkat sudah mencapai ambang yang mengkuatirkan.
Lebih dari 5.000 hektare hutan produksi terbatas yang ada di sepanjang pesisir Langkat beralih pungsi menjadi tanaman kelapa sawit yang dilakukan warga mupun pihak investor.
Karena itu, agar kerusakan hutan penyangga resapan iar laut tidak punah, pemertintah melalui dinas terkait diminta secepatnya melakukan langkah-langkah yang kongkrit untuk mengembalikan fungsi hutan.
“Dibutuhkan dana yang cukup besar untuk memberantas pembalakan dan penggarapan liar hutan bakau yang ada di Langkat,” kata Wakadis Kehutanan Sumut Yarwoto saat meninjau lokasi hutan bakau di Langkat beberapa waktu lalu.
Menurut Yarwoto, salah satu upaya yang mendesak dilakukan agar pembalakan liar tersebut dapat ditumpas yakni mengusir secara paksa para penggarap liar yang ada dengan menurunkan seluruh kekuatan baik sipil, militer maupun dinas terkait.
Yarwoto memperkirakan, dibutuhkan dana hampir sebesar Rp 300 juta untuk memberantas pembalakan dan pengalihpungsian hutan bakau yang hampir punah di Langkat. Namun diakuinya, hingga saat ini dana yang dibutuhkan belum juga terealisasi. Padahal, diakuinya bila dana dapat terealisasi, kawasan hutan bakau di Langkat yang selama ini dikuasai oleh fihak-fihak tertentu akan secepatnya dapat difungsikan kembali sebagai hutan resapan.
Sementara Pemerintah Kabupaten Langkat melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan melakukan upaya-upaya untuk menghambat semakin meluasnya pengalih fungsi lahan hutan bakau. Antara lain, berupaya melakukan audensi kepada Departemen Kehutanan RI sehubungan dengan perubahan fungsi lahan di areal HPHT PT Sari Bumi Bakau, namun permintaan audensi tidak dapat terpenuhi disebabkan kesibukan para pejabat di lingkup Dephut.
Bahkan pada akhir Desember 2007 lalu, Pemkab Langkat telah berupaya melakukan koordinasi dengan Satuan Polisi Reaksi Cepat (SPORC) Brigade Macan Tutul (BKSDA) Sumut dalam upaya melakukan tindakan represif pengamatan hutan Mangrove di Kabupaten Langkat. (als)
Lebih dari 5.000 hektare hutan produksi terbatas yang ada di sepanjang pesisir Langkat beralih pungsi menjadi tanaman kelapa sawit yang dilakukan warga mupun pihak investor.
Karena itu, agar kerusakan hutan penyangga resapan iar laut tidak punah, pemertintah melalui dinas terkait diminta secepatnya melakukan langkah-langkah yang kongkrit untuk mengembalikan fungsi hutan.
“Dibutuhkan dana yang cukup besar untuk memberantas pembalakan dan penggarapan liar hutan bakau yang ada di Langkat,” kata Wakadis Kehutanan Sumut Yarwoto saat meninjau lokasi hutan bakau di Langkat beberapa waktu lalu.
Menurut Yarwoto, salah satu upaya yang mendesak dilakukan agar pembalakan liar tersebut dapat ditumpas yakni mengusir secara paksa para penggarap liar yang ada dengan menurunkan seluruh kekuatan baik sipil, militer maupun dinas terkait.
Yarwoto memperkirakan, dibutuhkan dana hampir sebesar Rp 300 juta untuk memberantas pembalakan dan pengalihpungsian hutan bakau yang hampir punah di Langkat. Namun diakuinya, hingga saat ini dana yang dibutuhkan belum juga terealisasi. Padahal, diakuinya bila dana dapat terealisasi, kawasan hutan bakau di Langkat yang selama ini dikuasai oleh fihak-fihak tertentu akan secepatnya dapat difungsikan kembali sebagai hutan resapan.
Sementara Pemerintah Kabupaten Langkat melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan melakukan upaya-upaya untuk menghambat semakin meluasnya pengalih fungsi lahan hutan bakau. Antara lain, berupaya melakukan audensi kepada Departemen Kehutanan RI sehubungan dengan perubahan fungsi lahan di areal HPHT PT Sari Bumi Bakau, namun permintaan audensi tidak dapat terpenuhi disebabkan kesibukan para pejabat di lingkup Dephut.
Bahkan pada akhir Desember 2007 lalu, Pemkab Langkat telah berupaya melakukan koordinasi dengan Satuan Polisi Reaksi Cepat (SPORC) Brigade Macan Tutul (BKSDA) Sumut dalam upaya melakukan tindakan represif pengamatan hutan Mangrove di Kabupaten Langkat. (als)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar