Beberapa waktu lalu, Badan Pusat Statistik mengumumkan besaran Produk
Domestik Bruto Indonesia tahun 2011 mencapai sekitar Rp 7.400 triliun.
Angka inilah yang biasa dijadikan indikator besarnya pendapatan nasional
Indonesia dalam satu tahun tertentu itu.
Menariknya, jika kita
melihat data jumlah uang yang beredar, nilainya tidak sebesar itu
melainkan “hanya” kurang lebih Rp 280 triliun. Lantas bagaimana bisa
jumlah uang beredar sekecil itu menghasilkan pendapatan nasional yang
demikian besar?
Kuncinya ada pada perputaran uang yang beredar.
Ekonom
berkebangsaan Amerika Serikat, Irving Fisher, pernah mengatakan bahwa
harga barang tidak hanya dipengaruhi oleh jumlah uang beredar. Namun
juga dipengaruhi oleh kecepatan peredaran uang. Dalam ekonomi, hal ini
biasa disebut teori kuantitas uang.
Hubungannya dengan pengumuman
BPS tadi, untuk menghasilkan pendapatan nasional sebesar Rp 7.400
triliun dengan jumlah uang beredar sebesar Rp 280 tiliun, maka rata-rata
tiap rupiah harus berputar atau berpindah tangan sebanyak 26 kali dalam
bentuk transaksi.
Semakin cepat uang itu berpindah,
perputarannya makin tinggi. Maka celaka jika uang yang ditabung
masyarakat di bank tidak disalurkan dalam bentuk kredit, melainkan
disimpan dalam Sertifikat Bank Indonesia. Jelas tidak produktif.
Ilustrasi
ini menjelaskan betapa pentingnya perputaran uang terhadap perekonomian
nasional. Sehingga jika Anda ingin memiliki kontribusi lebih terhadap
perekonomian, maka jangan sekadar simpan uang Anda di bawah bantal.
Selain karena nilai uangnya akan berukurang akibat inflasi, Anda juga
ikut berperan menghambat laju percepatan perekonomian.
Seperti yang dilakukan bank dengan menyimpannya di surat berharga.
Meskipun
sangat dianjurkan untuk mendorong pergerakan roda perekonomian,
perputaran uang yang salah — seperti banyak menempatkan dana di surat
berharga oleh perbankan — bisa menimbulkan masalah lain.
Akibat
tidak tersalurkan ke sektor riil, perputaran uang pada sektor keuangan
jauh lebih cepat dan meninggalkan perputaran uang pada sektor riil.
Dengan begitu, pertumbuhan uang lebih cepat dibandingkan pertumbuhan
barang. Akibatnya, nilai uang menjadi berkurang dan muncullah apa yang
disebut dengan inflasi.
Terjun langsung dalam memutar uang
seperti membuka usaha (yang dapat mempekerjakan orang) memang jauh lebih
bagus dan nyata. Namun, untuk sebagian orang yang tidak mampu terjun
langsung tentunya akan menyerahkan pada pihak ketiga. Misalnya yang
paling sering terjadi, menyerahkannya kepada bank dalam bentuk tabungan
atau deposito.
Agar perputaran uang tetap terjadi tetapi nilai
uang tetap terjaga, maka sebagai pemilik dana kita harus sedikit teliti
kemana harus mempercayakan aset itu. Jika memilih perbankan setidaknya
kita harus tahu berapa Loan to Deposit Ratio (LDR) atau rasio pinjaman
yang disalurkan dibanding dana pihak ketiga yang direngkuh bank.
Sehingga,
kita bisa membayangkan kemana uang itu diputarkan. Jika rasio pinjaman
terhadap dana pihak ketiga ini besar, kemungkinan uang kita untuk
diputarkan pada sektor riil semakin besar. Sebaliknya, jika LDR ini
rendah maka uang kita akan diendapkan dalam bentuk Sertifikat Bank
Indonesia atau diputarkan di pasar uang — yang berarti potensi mendorong
inflasi.
Pilihannya ada di kita. Ke mana mau kita gunakan uang
kita? Apakah dibiarkan disimpan di bawah bantal dan habis dikorupsi oleh
inflasi, atau diputar di pasar uang yang juga akan turut mendorong
inflasi?
Atau, digunakan sebagai modal usaha di sektor riil yang berarti bermanfaat bagi kita sebagai pemilik uang?
Perputaran
uang yang tinggi di sektor riil serta menekan inflasi agar lebih rendah
akan memicu perekonomian nasional yang tumbuh berkualitas.
Herry Gunawan adalah mantan wartawan dan konsultan, kini sebagai penulis dan pendiri situs inspiratif: http://plasadana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar